JAKARTA – Setya Novanto (Setnov) kembali berada di situasi sulit. Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dari Partai Golkar itu harus menerima kenyataan bahwa nama besarnya kini berada di pusaran mega korupsi kartu tanda penduduk (KTP) elektronik (e-KTP).
Setnov harus mencari jalan keluar agar lolos dari jeratan itu. Namun perlu diingat, yang dihadapi kali ini bukan kasus politik seperti pencatutan nama Presiden Joko Widodo dalam polemik ‘papa minta saham’ PT Freeport Indonesia 2015 lalu. Perkara sekarang, ditangani lembaga hukum berintegritas, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Meski demikian, Setnov bisa sedikit bernafas lega. Sebab, dia tidak akan sendirian menghadapi KPK. Ada sejumlah nama besar lain yang juga masuk pusaran korupsi dengan kerugian negara jumbo, Rp 2,3 triliun tersebut. Diantaranya, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkum dan HAM) Yasonna Laoly, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo dan Gubernur Sulawesi Utara Olly Dondokambey.
Nama-nama besar itu kemarin (9/3) diungkap jaksa penuntut umum (JPU) KPK di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta. Mereka disebut menikmati aliran dana korupsi berjamaah e-KTP tahun anggaran (TA) 2011-2013. Diantara sekian banyak politisi yang diduga terlibat, Setnov memiliki peran cukup sentral. Yakni, turut serta dalam penyusunan rencana anggaran dan pembagian fee.
Di berkas dakwaan sebanyak 121 lembar itu, JPU membeberkan rangkaian peristiwa dugaan korupsi dengan terdakwa mantan Direktur Jenderal (Dirjen) Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Irman dan mantan Direktur Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan (PIAK) Ditjen Dukcapil Sugiharto.
Di surat dakwaan pertama, jaksa KPK mendakwa kedua terdakwa melakukan perbuatan melawan hukum secara bersama-sama untuk memperkaya diri sendiri dan orang lain atau korporasi. Di proyek pengadaan e-KTP, Irman dan Sugiharto berperan sebagai kuasa pengguna anggaran (KPA) dan pejabat pembuat komitmen (PPK).
Perbuatan itu diduga dilakukan bersama Andi Agustinus alias Andi Narogong (rekanan e-KTP), Isnu Edhi Wijaya (ketua konsorsium percetakan negara RI/PNRI), Diah Anggraeni (sekjen Kemendagri), Setnov dan Drajat Wisnu Setyawan (ketua panitia pengadaan barang/jasa ditjen dukcapil). Nama-nama itu mewakili tiga kluster. Yakni, pemerintah (birokrasi), DPR, dan penyedia jasa.
KPK membeberkan rangkaian peristiwa korupsi mulai dari penganggaran, pelaksanaan pengadaan hingga pembagian fee ke sejumlah pihak. Baik itu kelompok birokrat, legislatif, maupun korporasi penyedia barang/jasa. ”Kalau kami mau adil ya begitu (diungkap), karena kalau menyebut nama seseorang kan (pasti) ada resiko,” ujar Wakil Ketua KPK Saut Situmorang.
Sesuai janji KPK, nama-nama yang terlibat kemarin disebutkan dalam dakwaan. Dari birokrat, selain Irman dan Sugiharto, ada juga nama lain yang disebut KPK. Yakni, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) periode 2009-2014 Gamawan Fauzi. Menteri era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ini diduga menerima fee USD 4,5 juta dan Rp 50 juta dari bancakan e-KTP.
Dari unsur dewan ada puluhan nama yang diungkap. Mereka meliputi anggota Komisi II, sejumlah pimpinan fraksi partai dan petinggi DPR periode 2009-2014. Nama-nama besar yang menyita perhatian antara lain mantan Ketua DPR Marzuki Ali, mantan anggota Komisi II Yasonna Laoly (sekarang Menkum HAM) dan mantan Wakil Ketua Komisi II Ganjar Pranowo (saat ini Gubernur Jawa Tengah). (selengkapnya lihat grafis)
Semua nama yang terlibat mendapat jatah uang panas e-KTP. Pembagian itu sudah direncanakan sejak 2010 atau sebelum masuk pembahasan anggaran proyek e-KTP di DPR. Dari total nilai proyek Rp 5,9 triliun, 49 persen atau Rp 2,558 triliun disepakati sebagai fee untuk sejumlah pihak. Kesepakatan itu melibatkan Andi Narogong, Setnov, Anas Urbaningrum dan Muhammad Nazaruddin sebagai perwakilan kelompok DPR dan rekanan.
Uang haram yang sudah direncanakan untuk dibagikan itu paling banyak mengalir ke pelaksana proyek, yakni 15 persen atau Rp 783 miliar. Selebihnya untuk kelompok Anas dan Setnov masing-masing 11 persen atau sejumlah Rp 574,2 miliar. Kemudian 5 persen atau sebanyak Rp 261 miliar untuk anggota Komisi II saat itu dan 7 persen (Rp 365,4 miliar) dibagikan ke pejabat Kemendagri.
Sebagai tindaklanjut kesepakatan tersebut, Andi Narogong pada Oktober 2010 lantas bergerilya memberikan sejumlah uang dalam pecahan dollar Amerika Serikat (AS) kepada anggota DPR komisi II dan Badan Anggaran (Banggar). Tujuannya agar budget yang disusun bersama Setnov, Anas dan Nazaruddin disetujui.
Anggota Komisi II yang mendapat uang haram dari Andi Narogong antara lain, Arief Wibowo, Chaeruman Harahap, Ganjar Pranowo, Agun Gunandjar Sudarsa, Mustoko Weni, Ignatius Mulyono, Taufiq Effendi, dan Teguh Djuwarno. Besaran uang yang diberikan berkisar USD 50 ribu hingga USD 1 juta. Sebenarnya, ada 37 anggota Komisi II lain yang disebut menerima uang. Sayang, nama mereka tidak disebutkan di surat dakwaan.
Saut mengatakan, nama yang disebutkan dalam dakwaan sudah diperhitungkan secara matang. Pihaknya mempelajari semua nama itu sebelum diungkapkan dalam persidangan. Mulai dari peran hingga logika hukum atau kewajaran nama itu. ”Jangan lupa, KPK kan selama ini (periode sebelumnya) pernah menyebut-nyebut nama seseorang tapi tidak pernah diadili. Kami belajar dari situ,” sindirnya.
Saut pun mengaku siap menghadapi gejolak politik pasca pembacaan nama-nama besar dalam dakwaan e-KTP. Menurutnya, kegaduhan politik itu bergantung pada komitmen pemimpin negara. ”Kalau memberantas korupsi di suatu negara itu ditentukan oleh pemimpinnya. Ini kan kebetulan presiden lagi bagus, jadi kami harus serius. Kami yakin dinamika pasti ada, itu biasa (kalau) reaksi-reaksi.”
Ketua KPK Agus Rahardjo memastikan bakal ada penetapan tersangka setelah proses persidangan selesai. Namun, pihaknya enggan menyebutkan dari unsur mana calon tersangka itu. ”Nanti kita tunggu saja. Ini kami selesaikannya bukan (dengan) maraton, ini sprinting,” ujarnya. Apakah calon tersangka itu adalah Setya Novanto ? Agus menjawab diplomatis. ”Insya Allah terus di proses,” imbuhnya.
Ramai-ramai Membantah
Munculnya nama-nama sejumlah anggota dewan dalam persidangan perdana kasus E-KTP, langsung dibantah ramai-ramai oleh sejumlah politikus terkait. Ketua Umum Partai Golongan Karya Setya Novanto memberikan bantahan langsung saat berpidato membuka Rapat Koordinasi Teknis (Rakornis) Partai Golkar. Setnov mengaku mendengar bahwa namanya disebut dalam dakwaan jaksa, bahwa dirinya menerima sejumlah uang dalam jumlah fantastis, yakni Rp 543 miliar.
”Saya sudah melakukan safari ke berbagai media, saya menegaskan tidak menerima apapun terkait KTP elektronik,” kata Setnov.
Menurut Setnov, ada juga tuduhan lain dalam dakwaan yang menyebut ada aliran dana E-KTP ke Partai Golkar sebesar Rp 150 miliar. Aliran dana itu tidak hanya diberikan ke Partai Golkar, tetapi juga ke Partai Demokrat dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Setnov kembali membantah tudingan itu.
”Saya, demi Allah kepada seluruh Indonesia bahwa saya tidak pernah menerima apapun dari KTP elektronik. Saya sampaikan, apa betul Golkar terima Rp150 miliar? Saya bilang itu durhaka, saya demi Allah, kepada kader Golkar saya tidak pernah terima apapun,” ujarnya.
Menurut Setnov, apa yang terjadi saat ini adalah godaan-godaan terhadap kebangkitan kembali Partai Golkar. Menurut dia, setelah Partai Golkar kembali solid, banyak tudingan yang mengarah ke Partai Golkar. ”Inilah godaan godaan (terhadap) kita, jangan berkecil hati. Kita harus tetap solid dan berakar,” ujarnya.
Mantan Ketua DPR Marzuki Alie saat ditemui di kampus Yayasan Administrasi Indonesia (YAI) juga membantah dakwaan jaksa, bahwa dia menerima aliran dana Rp 20 miliar terkait E-KTP. Menurut dia, sepanjang menjabat Ketua DPR, dirinya memang selalu dikait-kaitkan dengan berbagai kasus yang akhirnya tidak terbukti.
”Kalau Ketua DPR itu disebut, itu sudah menjadi kebiasaan. Dulu kasus Hambalang saya katanya terima 1 juta dollar, tapi tidak pernah diklarifikasi,” kata Marzuki.
Apa yang terjadi saat ini, ujar Marzuki, tidak jauh berbeda di kasus Hambalang. Mantan Sekjen Partai Demokrat itu mengaku tidak kaget namanya masuk dalam dakwaan. Namun, kata dia, lagi-lagi perilaku yang sama oleh KPK juga terjadi. ”Persoalannya kenapa KPK tidak minta saya hadir untuk memberi keterangan. Ini sangat tidak fair, tidak adil. Katanya prinsip penyidikan KPK kan follow the money,” ujarnya.
Menurut Marzuki, dirinya tidak pernah tahu proses penganggaran E-KTP, karena sebagai Ketua DPR tidak memegang Komisi. Baru kemudian dirinya didatangi oleh komisioner KPPU pada saat itu yang menyatakan bahwa proses tender E-KTP janggal. ”Akhirnya dibentuk majelis KPPU sampai tender itu batal di tingkat kasasi,” kata Marzuki.
Namun, denda dari sanksi putusan kasasi itu terlalu kecil dan tidak dibahas lebih lanjut di Komisi II DPR. Putusan itu yang kemudian menjadi pintu masuk KPK untuk mengusut proses pengadaan E-KTP. ”Berkas penyidikannya di KPK kemudian menjadi landasan untuk masuk,” ujarnya.
Karena penyebutan namanya itu menjadi viral, Marzuki menyatakan akan mengambil langkah hukum. Rencananya hari ini dirinya akan mengajukan gugatan ke Bareskrim Polri. ”Saya saja tidak pernah ketemu itu Andi Narogong, saya merasa didzolimi,” ujarnya.
Mantan Wakil Ketua Komisi II DPR Teguh Juwarno juga mengklarifikasi penyebutan dirinya terkait kasus E-KTP. Teguh menyatakan, dirinya tidak pernah mengenal sosok Andi Narogong yang disebut-sebut sebagai pihak yang membagi-bagikan uang. Apalagi, kata dia, kronologi pembagian uang yang melibatkan mantan anggota DPR Mustokoweni Murdi juga janggal.
”Ibu Mustokoweni meninggal dunia 18 Juni 2010. Jadi bagaimana mungkin ada pembagian uang di ruangan beliau, dimana disitu disebut saya menerima pembagian uang,” kata legislator Partai Amanat Nasional itu.
Selain itu, Teguh menyebut masa tugasnya sebagai anggota Komisi II hanya sampai tanggal 21 September 2010. Sementara persetujuan penambahan anggaran E-KTP terjadi bulan Oktober-November 2010. Sesuai dokumen yang ditunjukkan penyidik KPK, persetujuan anggaran Kemendagri dilakukan pada 2011 dimana ada penambahan anggaran untuk E-KTP hanya ditandatangani Ketua Komisi II dan tiga anggota Badan Anggaran. ”Nama saya tidak ada dalam surat persetujuan APBN 2011 itu,” ujarnya.
Selain itu, Teguh juga sudah menyerahkan bukti notulensi kehadiran rapat, dimana di rapat-rapat E-KTP yang dimulai tanggal 5 Mei 2010 dan 21 Mei 2010, dirinya tidak pernah hadir. ”Alasan saya tidak hadir karena harus memimpin Panja Pertanahan Komisi II, soal E-KTP di Panja Kemendagri dan Otda,” ujarnya.
Menurut Teguh, apa yang terkait dengan E-KTP sudah pernah dia jelaskan kepada penyidik KPK. Jika memang nantinya ada pemanggilan dari pengadilan, Teguh menyatakan kesiapannya utnuk bersaksi. ”Saya siap dikonfrontir dengan pihak-pihak yang mengaku menyerahkan uang kepada saya,” ujarnya.
Mantan Ketua Komisi II DPR Agun Gunanjar Sudarsa juga tidak mau berkomentar banyak. Menurut dia, saat ini bukan tempatnya untuk mengklarifikasi kepada media terkait proses persidangan E-KTP. Dirinya menghormati dan siap patuh terhadap setiap proses peradilan yang berjalan. ”Di pengadilan nanti, itulah semuanya akan diuji secara terbuka. Semoga kita semua menghormati dan menghargainya,” kata Agun. (***)