BeritaBengkulu.id - Tujuan dibentuknya Panitia Khusus Angket KPK merupakan upaya DPR RI untuk menelusuri kebenaran dan keadilan, jangan sampai lembaga penegak hukum justru menghasilkan peradilan yang sesat. Wakil Ketua Pansus Angket, Masinton Pasaribu mewanti-wanti hal tersebut sesaat setelah Rapat dengar Pendapat Umum dengan Muchtar Efendi dan Niko Panji Tirtayasa.
"Kalau cara-cara seperti ini dibiarkan, kita khawatir proses peradilan sesat itu akan berlanjut terus. Dan tentu keterangan dari para saksi yang kita panggil ini akan kita dalami, akan kami kroscek kembali kebenarannya nanti, baik bersama KPK terhadap orang-orang yang terlibat," tandas Masinton, di Gedung Nusantara, Selasa (25/7/2017) malam.
Dia meyebut peradilan sesat tentu sangat beralasan, karena apa yang disampaikan Niko dan Muchtar dengan kemarin yang disampaikan Yulianis, diungkapkan para saksi tersebut, KPK banyak melakukan rekayasa, pengkondisian bahkan tekanan terhadap saksi atau target yang akan ditersangkakan KPK.
"Ada benang merah, bahwa persoalan dalam penanganan kasus-kasus di KPK, benang merahnya apa, ada rekayasa, ada paksaan, ada pengkondisian, ada orang yang ditarget dari memberikan keterangan palsu," ujar Masinton.
Bahkan harta terdakwa yang disita Jaksa KPK tidak jelas ke mana, karena menurut pengakuan Muchtar hartanya sampai saat ini tidak dikembalikan KPK. Padahal harta tersebut menurut keputusan MA tidak ada hubungannya dengan Korupsi Akil Mochtar. Masinton menegaskan jangan sampai KPK atas nama pemberantasan korupsi malah justru mengambil hak warga negara yang tidak bersalah.
"Pejabat yang ditarget, ada (harta) yang sudah disita tapi kemudian tidak diberikan ke negara. Masih dalam pengelolaan dan penguasaan orang lain. Kita gak mau ada korupsi atas nama pemberantasan korupsi," paparnya.
Muchtar Efendi dalam kesaksianya menyampaikan, penyidik KPK telah menyita sejumlah harta yang dia anggap tidak berkaitan dengan kasus korupsi. Aset itu sampai sekarang belum kembali di antaranya 25 unit mobil dan 45 unit motor, tiga unit rumah, dan dua bidang tanah.
"Malah pada 2016 saya didatangi oleh pihak KPK yang mengaku utusan Johan Budi terkait harta yang disita tersebut. Mereka menawarkan harta saya akan dikembalikan jika dibagi dua dan hak jual diberikan kepada mereka. Saya tidak setuju, itu harta halal saya," ungkap Muchtar.
Kejanggalan lain yang dilakukan KPK, seperti yang diakui Nico, dia dipaksa oleh penyidik KPK untuk memberikan kesaksian yang memberatkan para terpidana perkara ini. Mereka adalah mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar, orang dekat Akil, Muchtar Effendi, Wali Kota Palembang Romi Herton, dan Bupati Empat Lawang, Budi Antoni Aljufri. "Saya disuruh mengaku mengetahui segala kegiatan paman saya, Muchtar Effendi, dan mengaku saya adalah ajudan, asisten pribadi, dan sopir paman saya," jelasnya.
Dalam proses memberi kesaksian itu, Niko mengaku disandera oleh penyidik KPK di sebuah rumah di Kelapa Gading, Jakarta Utara. Selama penyekapan, dia dipaksa bekerjasama dan harus mengikuti semua keinginan KPK. "Mereka mengancam akan memenjarakan anak dan istri saya karena ikut mencicipi (duit) dari Muchtar Effendi," katanya.