Tuesday, 21 Oct 2025
Home
Search
Menu
Share
More
21 Oct 2025 01:52 - 11 minutes reading

CATATAN HITAM 365 HARI KEPEMERINTAHAN PRABOWO-GIBRAN

Oleh : M. Ghifar Alfarizsy (Menteri Luar Negeri BEM KBM UNIB 2025)

Negara Republik Indonesia yang saat ini dipimpin oleh Prabowo-Gibran dengan mengusung Kabinet Merah Putih Periodisasi 2024-2029. Tepat pada tanggal 20 Oktober 2024 saat dilantik hingga 20 Oktober 2025 menginjak masa kepemerintahan yang berlangsung selama satu tahun.

Tentu dalam perjalanan satu tahun keberlangsungan pemerintahan Prabowo-Gibran menyisakan banyak jejak yang perlu diberi peringatan keras guna mengembalikan esensi bahwa kedaulatan tertinggi ada ditangan rakyat.

Pada awal terpilihnya Prabowo-Gibran sudah banyak menuai kontroversial dan menimbulkan banyak kekhawatiran ditengah masyarakat. Hal ini terlihat intervensi paman Gibran yang sekaligus menantu dari Jokowi yang menjadi Hakim MK yakni Anwar Usman yang menciderai keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023.

Tentu mulai dari proses pemilihan ini, negara sudah mempertontonkan kepada masyarakat bahwa untuk mendapatkan kekuasaan Prabowo-Gibran sudah melangkahi konstitusi dan tidak menghormati supremasi hukum.

Adapun koalisi yang dibentuk oleh Prabowo-Gibran yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Maju adalah hampir dari seluruh partai politik yang ikut berkonstelasi pada pemilu 2024. Hal ini dikhawatirkan dapat mematikan perlawanan oposisi partai lain terhadap kepemerintahan Prabowo-Gibran.

Lain dari pada hal itu, koalisi yang terbentuk sebagai tim pemenangan Prabowo-Gibran ini diberi nama Koalisi Indonesia Maju. Koalisi dibawakan Prabowo-Gibran ternyata sukses mengantarkan kemenangan Prabowo-Gibran dalam konstelasi pemilihan umum 2024 dengan satu kali putaran, dengan perolehan suara 96.214.691 suara (58,58%).

Tentu keberhasilan Koalisi Indonesia Maju ini mengharuskan Prabowo-Gibran melakukan pembagian kursi kekuasaan sebagai bentuk sikap politik balas budi ataupun kontrak politiknya.

Dominasi Sistem Presidensial di Indonesia membuat Presiden Prabowo dapat memuluskan pembentukan kabinet gemuk. Hal ini dilakukan dengan merevisi Undang-Undang Kementerian Negara sebagai payung hukum legalitas pembentukan kabinet gemuk.

Center of Economic and Law Studies (Celios) menilai bahwa kabinet gemuk yang terdiri dari 48 kementerian dengan 109 menteri dan wakil menteri berakibat melonjaknya anggaran yang dibutuhkan untuk mengakomodir pembentukan pemerintahan Prabowo-Gibran sebanyak 114% yang semula pada pemerintahan Jokowi Rp387,6 M menjadi Rp777 M.

Namun tidak puas dari besarnya anggaran tersebut terdapat 7 kementerin koordinator yang mengajukan dana tambahan sebesar Rp5,18 T dengan landasan kebutuhan operasional, belanja pegawai dan program prioritas. Padahal jika dikomparasikan dari pada membentuk kabinet yang gemuk ini, efektivitas anggaran negara dapat dialih fungsikan untuk sektor yang lebih prioritas seperti pendidikan, kesehatan dan ekonomi, lain-lain.

Namun sayangnya alih-alih penggunaan dana yang baik malah digunakan untuk membayar pejabat-pejabat dalam kabinet gemuk dan menuai narasi kontroversia di masyarakat sipil yang mempertanyakan urgensi yang secara tidak langsung mempengaruhi stabilitas masyarakat sipil tersebut.

Upaya Presiden Prabowo untuk mengumpulkan dana negara yang besar guna menjalankan roda pemerintahan yang gemuk tersebut adalah dengan mengeluarkan Intruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja Negara.

Kebijakan ini dipercaya dapat menghemat anggaran belanja negara hingga Rp309,69 triliun, efisiensi ini berlaku untuk belanja operasional dan non operasional sekurang-kurangnya terdiri atas belanja operasional perkantoran, belanja pemeliharaan, perjalanan dinas, bantuan pemerintah, pembangunan infrastruktur, serta pengadaan peralatan mesin dan kegiatan seremonial.

Namun disisi lain, kebijakan ini mempengaruhi ketidakstabilan perekonomian negara karena rendahnya perputaran daya transaksi masyarakat yang mengakibatkan kesenjangan ekonomi, angka pengangguran yang meningkat, PHK dimana-mana, pembangunan infrastruktur yang terhambat bahkan potensi SDM yang tidak berkembang.

Lalu dalam aspek supremasi hukum berlangsungnya satu tahun pemerintahan Prabowo-Gibran, terjadi banyak pengabaian terhadap hukum dan demokrasi bahkan Hak Asasi Manusia (HAM).

Pada triwulan pertama 2025, masyarakat diresahkan dengan adanya Revisi UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang saat ini telah menjadi UU Nomor 3 tahun 2025, yang memuat perluasan kewenangan TNI itu sendiri.

Perluasan kewenangan TNI ini tentu merupakan upaya dalam meregresi demokrasi dengan cara menghidupkan kembali dwifungsi TNI dengan gaya baru. Mulai dari kedudukan TNI, penanganan siber, perluasan pos jabatan sipil, dan perpanjangan usia pensiun bagi TNI.

Bukan hanya itu, dilantiknya seorang Mayor Teddy sebagai Sekretaris Kabinet juga melukai konstitusi yang berlaku, dalam pasal 47 ayat (1) UU 34/2004 bahwa prajurit hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif

Jika kita perhatikan kembali setahun jalanya pemerintahan Prabowo-Gibran melakukan praktek rangkap jabatan yang oleh anggota kabinet. Terlihat dari 55 Wakil Menteri, terdapat 30 Wakil Menteri yang rangkap jabatan baik itu sebagai komisaris diberbagai perusahaan negara maupun swasta.

Padahal dalam UU 39 tahun 2008 tentang Kementerian Negara, UU 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik dan UU 30 tahun 2014 tentang administrasi pemerintahan diperkuat dengan Putusan MK Nomor 80?PUU-XVII/2019 dan Putusan MK Nomor 128/PUU-XXIII/2025 melarang tegas bahwa menteri, wakil menteri ataupun pelan publik untuk melakukan rangkap jabatan yang mengkhwatirkan terdapat urusan kepentingan, efektivitas kerja, dan integritas kelembagaan penyelenggara negara tersebut.

Hal ini jelas mencerminkan bahwa ketidakpatuhan hukum yang dilakukan oleh kepemerintahan Prabowo-Gibran bahkan dinilai melukainya menurunkan kepercayaan sipil terhadap pemerintah.

Pada kampanye pilpres 2024 Prabowo-Gibran memiliki ambisi dalam program kerjanya Makan Gratis yang hari ini diimplementasikan sebagai Makan Bergizi Gratis.

Dilansir dalam berita 1TULAH.COM tentang “Polemik Program Makan Bergizi Gratis: Presiden Prabowo Akui Masalah Keracunan dan Minta Tak Dipolitisasi” terdapat kurang lebih 7.000 pelajar diberbagai daerah mengalami keracunan massal.

Sejak awal diluncurkannya program kerja ini sudah menimbulkan banyak sekali masalah terutama besarnya anggaran, persoalan teknis sampai pada kasus keracunan massal yang menimbulkan banyak korban mulai dari keracunan, makanan basi, distribusi yang tidak tepat hingga lemahnya sistem pengawasan.

Bukan hanya itu dalam implementasi pelaksanaan MBG ini menimbulkan beban baru bagi guru yang diminta menyediakan tenaga tambahan dan fasilitas yang tidak memadai. Lalu dibulan April sebelumnya salah satu dapur didaerah Kalibata yang mengalami kerugian hampir Rp1 miliar karena menunggak belum dibayarkan.

Padahal program MBG sudah dianggarkan mencapai Rp400 Triliun, dengan besarnya perencanaan anggaran tersebut seharusnya kejadian tunggakan tidak terjadi. Hal semacam inilah menimbulkan kecurigaan publik tentang tata kelola MBG ini dan dikhawatirkan sebagai ladang korupsi.

Dilansir dalam pemberitaan CNBC.Indonesia sejumlah ekonom mempertanyakan efektivitas MBG yang menguras anggaran yang besar namun tidak memberikan dampak nyata yang diyakini sebagai solusi untuk menjawab permasalahan stunting.

Dalam penanganan kebobrokan pelaksanaan program MBG mempengaruhi respon negara dalam menyikapi masalah ini terutama keracunan. Kumparan.com menyebutkan terdapat kurang lebih 10.000 siswa yang mengalami keracunan.

Hal yang patut kita sadari bahwa perkataan Presiden Prabowo dalam merespon masalah ini hanya terlihat dari angka statistik korban saja, bukan dari rasa empati dan jiwa sosial seorang presiden terhadap rakyatnya.

Hal ini menunjukkan kualitas negara dalam berkomusikasi kepada publik dan menyerap keresahan yang terjadi ditengah masyarakat sangatlah buruk terutama terhadap keluarga korban. Perlu kita garis bawahi kebijakan yang menyangkut aspek kehidupan, jika dilihat dari angka statistik saja adalah hal yang etis dan melukai martabat dari kemanusiaan itu sendiri.

Terjadinya masalah keracunan ini tidak boleh dianggap sebagai hal yang biasa dan dianggap bahwa program MBG ini berjalan dengan baik. Sering kita temui bahwa banyak pembenaran terhadap masalah MBG ini seolah menjadi program kerja yang paling bermanfaat, namun realita terjadi banyak kejanggalan dan permasalahan dalam program ini yang tentu harus dievaluasi guna menakar keselarasan antara perencanaan dan pelaksanaan.

Menurut Economist Intelligence Unit (EIU), Indeks demokrasi Indonesia ditahun 2024 menurun menjadi 6,44 dari skala 10, dari angka tahun sebelumnya yaitu 6,53. Indonesia berada pada peringkat yang mengkhawatirkan karena ada diposisi 59 dari 167 negara dan memasuki zona flawed democracy (demokrasi cacat) dan perlu diketahui dua komponen yang mendapatkan nilai paling buruk adalah budaya politik (5) dan kebebasan sipil (5,29).

Hal ini menunjukkan bahwa citra negara Indonesia yang dikenal sebagai negara dengan jumlah penduduk yang banyak dan berdemokrasi tidak mencerminkan kualitas demokrasi yang baik. Kualitas demokrasi Indonesia juga terlihat saat negara merespon aspirasi masyarakat yang buruk bahkan dapat dikatakan sebagai respon peredam kekecewaan dan kemarahan sementara tanpa adanya solusi kongkrit.

Jika kita perhatikan kembali sudah beberapa kali dilakukannya reshuffle kabinet selama Prabowo-Gibran menjabat, hal ini tentu menuai kecurigaan bagi masyarakat sipil terhadap negara yang berulang kali mengotak-atik kepemerintahan seolah mudah saja untuk menjadikan jabatan publik pasang copot layaknya permainan.

Padahal dengan berulang kalinya reshuffle tersebut tentu menggelontorkan dana yang tidak sedikit dan hanya dapat dinikmati oleh pejabat-pejabat negara saja, jadi tidak heran jika kualitas demokrasi di Indonesia itu rendah.

Kita lihat sikap aparat kepolisian dalam menangani massa aksi demonstrasi terlihat sangat berlebihan, hal ini dapat disaksikan dengan penggunaan gas air mata, pemukulan, penangkapan tanpa prosedural yang jelas terhadap massa aksi sangat mengenaskan.

Gelombang besar kemarahan massa aksi ini terbukti dengan jatuhnya korban jiwa yaitu Affan Kurniawan seorang ojek online yang sedang mencari nafkah dan tidak ada melakukan upaya anarkis ditabrak dan dilindas dengan tragis oleh mobil taktis pada 28 Agustus 2025.

Padahal kehadiran aparat seharusnya menhadirkan ketentraman dan rasa damai. Namun yang terjadi sebaliknya, pasukan aparat kepolisian hadir ditengah massa aksi justru menghadirkan rasa kontraproduktif dengan menyebarkan rasa ketakutan dan melakukan represifitas.

Kualitas demokrasi ini diperburuk dengan respon Presiden Prabowo yang gagal paham dalam menanggapi dinamika sosial politik dan ekonomi yang memicu amarah rakyat dengan menuduh serta mengklaim bahwa terjadinya demonstrasi besar-besaran diberbagai daerah merupakan tindakan oknum yang ingin menumbangkan pemerintah (makar) bahkan sampai disebut sebagai kejadian terorisme serta disebut bahwa demontrasi tersebut ditunggangi oleh antek asing.

Adanya ungkapan Presiden Prabowo yang menyebut aksi demonstrasi adalah makar dan terorisme malah membuka babak baru terhadap amarah masyarakat. Padahal besarnya aksi demonstrasi yang terjadi tersebut ialah bentuk dari akumulasi kemarahan masyarakat terhadap negara karena tidak berbenah kekecewaan masyarakat sebelumnya seperti halnya pemborosan uang rakyat, perilaku korup yang mendarah daging ditubuh pejabat dan kinerja pemerintah buruk lainnya.

Adapun yang akan terus kita kawal adalah penangkapan massa aksi terus ditahan sampai saat ini dengan tidak adanya bukti kuat. Bukan hanya itu, untuk membersihkan citra aparat kepolisian mereka mengungkapkan bahwa massa aksi tersebut hilang tanpa adanya kejelasan, dan tentu hal ini menuai pertanyaan apakah benar mereka hilang atau malah dihilangkan.

Tentu dengan bobroknya kualitas pelayanan yang dilakukan POLRI menunjukkan bahwa presiden harus melakukan gerakan Rerformasi POLRI. Rendahnya kepercayaan publik terhadap polri harus menjadi pukulan keras bagi Presiden Prabowo dalam menangani keresahan masyarakat dan komitmen negara dalam menjamin keberlangsungan Hak Asasi Manusia (HAM) haruslah ditegakkan dengan seadil-adilnya.

Kemerosotan kualitas pelayanan dan kepercayaan publik terhadap polisi juga harus menjadi alasan yang mendasar bagi Presiden untuk melakukan reformasi. Mulai dari penguatan pengawasan eksternal dan internal lembaga, perbaikan sistem rekrutmen (pendidikan dan promosi merit), transparansi anggaran dan akuntabilitas kinerja, sanksi tegas tanpa toleransi untuk pelanggaran, serta budaya militeristik kepada masyarakat.

Terlepas dari sederet permasalahan diatas, terdapat pesimisme terhadap pemberantasan korupsi dalam kepemerintahan Prabowo-Gibran ini. Indonesia Corruption Watch (ICW) mengkhawatirkan pemberantasan korupsi pada kepemerintahan saat ini, hal ini dikarenakan pemberantasan korupsi ini bukan menjadi agenda prioritas bagi pemerintah. Adanya sejumlah nama anggota Kabinet Merah Putih dalam rekam jejaknya menerima uang korupsi seperti Airlangga Hartarto (Menko Perekonomian), Dito Ariotedjo (ex Menpora), Eddy Hiariej (Wamenkumham), Zulkifli hasan (Mendag) dan Budi Gunawan (Menko Polhukam).

Bukan hanya itu, gemuknya kabinet ini menandakan bahwa sejak era reformasi, Kabinet Merah Putih menjadi kabinet terbesar yang menjadikan dominasi politik transaksional sangat mungkin terjadi bahkan sebelum terbentuknya kabinet ini. Rendahnya pengecekan rekam jejak anggota kabinet seperti lembaga KPK, PPATK dan Direktorat Jenderal Pajak untuk melakukan pemeriksaan dan audit calon anggota kabinet menimbulkan kekhawatiran ketika pejabat itu bekerja.

Saat ini independensi lembaga KPK dipertanyakan bahkan dinilai semakin problematik. Ketua Pukat FH UGM, Dr. Totok Dwi Diantoro, S.H., M.A., LL.M., menyampaikan bahwa mereka telah mencatat hilangnya independensi KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), yang menjadikan lembaga antikorupsi ini disebut semakin problematik. “KPK kini tidak lagi berada di puncak independensinya, dan ini menjadi salah satu faktor yang menyebabkan stagnasi dalam upaya pemberantasan korupsi”.

Padahal pemberantasan korupsi masuk dalam asta cita dan 17 program prioritas Prabowo-Gibran. Namun implementasi dari cita-cita itu saat ini pesimis untuk terealisasikan dengan praktek pejabat korup dan prioritas negara yang tidak menjadikan hal ini sebagai fokus utama. Bahkan presiden malahan sibuk memikirkan karir politiknya untuk konstelasi pesta demokrasi 2029. Hal ini terlihat dengan adanya upaya Presiden untuk mengubah sistem pemilu. Padahal kualitas penanganan korupsi juga sangat mempengaruhi kepercayaan masyarakat sipil.

Sikap pemerintahan Presiden Prabowo terhadap krisis kemanusiaan di Palestina memicu kontroversi serius, terutama karena pendekatan diplomatik yang disebut seolah “dualisme atau dua kaki” yakni dukungan eksplisit terhadap kemerdekaan Palestina, namun disertai dengan kesiapan mengakui Israel setelah Palestina merdeka.

Pendekatan ini dinilai bertentangan dengan konsistensi politik luar negeri Indonesia yang selama ini dikenal tegas membela Palestina sebagai bangsa yang terjajah. Meski Prabowo menegaskan komitmen terhadap solusi dua negara sebagai jalan damai, mengutuk kekerasan terhadap warga sipil, dan menyerukan penghentian tragedi kemanusiaan di Gaza, pernyataannya soal pengakuan terhadap Israel justru menuai kritik dari kelompok HAM dan aktivis yang menilai bahwa pemerintah gagal menangkap akar persoalan: kejahatan perang dan genosida yang dilakukan Israel terhadap rakyat Palestina.

Kebijakan ini dianggap mengabaikan prinsip keadilan dan akuntabilitas internasional atas pelanggaran HAM berat yang terjadi, sehingga mencerminkan dilema politik luar negeri Indonesia antara mempertahankan solidaritas historis terhadap Palestina dan membangun hubungan diplomatik pragmatis dengan Israel.

Dalam konteks ini, muncul pertanyaan besar tentang moralitas dan efektivitas kebijakan luar negeri Presiden Prabowo: apakah Indonesia masih berpihak pada keadilan, atau mulai tunduk pada kompromi politik global yang mengaburkan keberpihakan terhadap korban penjajahan?